FENOMENA
PACARAN DI ZAMAN MODERN
Oleh Achmad
Riyadi, 02, XII IPA 5
Zaman
sekarang, banyak anak muda, terutama pelajar, yang sudah memiliki pasangan atau
yang lebih dikenal dengan sebutan pacar. Bahkan anak sekolah dasar, sudah
mengetahui tentang cinta, pacar, dan lain sebagainya. Pacaran sendiri memiliki definisi yaitu proses perkenalan
antara dua insan manusia yang biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian
kecocokan menuju kehidupan berkeluarga yang dikenal dengan pernikahan. Pada kenyataannya,
penerapan proses tersebut masih sangat jauh dari tujuan yang sebenarnya.
Manusia yang belum cukup umur dan masih jauh dari kesiapan memenuhi persyaratan
menuju pernikahan telah dengan nyata membiasakan tradisi yang semestinya tidak
mereka lakukan (Wikipedia.org). Mereka
lebih mengenal tradisi atau budaya Barat dan meninggalkan budaya Timur. Sedangkan
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi Ketiga, 2002:807), pacar adalah kekasih atau teman
lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta-kasih.
Berpacaran adalah bercintaan; (atau) berkasih-kasihan (dengan sang pacar).
Memacari adalah mengencani; (atau) menjadikan dia sebagai pacar. Sementara
kencan sendiri menurut kamus tersebut (542) adalah berjanji untuk saling bertemu di suatu
tempat dengan waktu yang telah ditetapkan bersama (Wikipedia.org).
Apalagi pada zaman
sekarang ini, mereka sudah “diberi” fasilitas dengan adanya handphone dan smartphone yang dilengkapi berbagai fasilitas, seperti messaging, video call serta berbagai
macam akses ke jejaring sosial. Tidak hanya jejaring sosial, adanya internet
juga mempengaruhi perilaku para pelajar. Di samping itu juga, remaja zaman
sekarang sudah bernai membawa motor sendiri walau belum memiliki Surat Ijin
Mengemudi (SIM). Mereka sering membawa motor mereka untuk pergi ke berbagai
tempat, kadang sendiri, kadang bersama pacar, kadang juga bersama teman. Hal
ini sangat memprihatinkan. Masa yang seharusnya digunakan oleh pelajar untuk
menuntut ilmu sebaik – baiknya dan setinggi – tingginya, malah digunakan oleh
mereka untuk berpacaran yang banyak diwarnai
putus dan mencari pasangan lainnya. Mereka menjadi kehilangan banyak waktu.
Waktu yang seharusnya digunakan untuk belajar, berubah haluan dan digunakan
untuk mengajak pacar pergi ke suatu tempat dan bersenang - senang. Banyak dari
individu yang terikat, lebih memilih pacar mereka sendiri daripada orangtua
mereka. Mereka menjadi tidak mendengar nasihat orangtua, mengabaikan orangtua
mereka dan lain sebagainya. Waktu untuk berkumpul dengan keluarga yang sudah
sedikit menjadi lebih sedikit karena mereka sibuk dengan kegiatan pacaran
mereka, seperti jalan bareng, “apel” ke rumah pacar, dan lain sebagainya. Tak
jarang dari mereka yang lupa waktu. Bahkan, mereka bisa menginap di rumah pacar
mereka, sehingga hal tersebut menjadi hal tabu di masyarakat sekitar. Tak
sedikit dari orangtua yang selalu dimintai uang saku dalam kurun waktu yang
sangat singkat. Hal ini membuat para orangtua bertanya – tanya, “Untuk apa uang
tersebut?”. Ternyata, banyak dari para kawula muda yang menggunakan uang
tersebut untuk membelikan makanan atau jajan untuk pacar mereka, mentraktir
makan, membelikan barang yang disukai pacar mereka, sampai untuk mengajak pacar
mereka jalan – jalan. Akhlak yang seharusnya terpuji bisa langsung berubah
menjadi akhlak yang tercela. Bahkan, status para individu yang terikat itu
merupakan santri, hal tersebut belum tentu menjamin mereka tidak pacaran.
Sungguh ironis.
Para
pemuda dan pemudi yang seharusnya menjadi penerus bangsa, namun sebagian besar
malah terjebak dalam lingkaran kuasa “pacaran”. Padahal banyak dari mereka yang
memilih pacaran hanya karena melihat lawan jenis yang, jika perempuan cantik, yang
memikat dan hal tersebut biasanya hanya bersifat sementara. Dan juga, banyak
dari perempuan yang menerima ucapan “aku cinta kamu” karena mereka merasa tidak
enak hati untuk menolak hal tersebut. Selain karena tidak enak hati, mereka
juga menerima hal tersebut karena takut dengan si laki – laki karena bertampang
dan bertingkah laku yang bisa dikatakan sangat “sangar” dan juga ekstrim. Sehingga banyak perempuan yang jelas –
jelas sudah tahu kalau tabiat atau tingkah laku pasangannya yang tidak jelas,
tetapi masih mau untuk berpacaran dengan laki – laki tersebut.
Kebanyakan
laki – laki maupun perempuan yang berpacaran, memberikan banyak larangan kepada
pacar mereka, seperti melarang untuk berdekatan – dekatan dengan perempuan atau
laki – laki lainnya. Hal ini bisa memicu anak muda yang dilarang tersebut anti
sosial atau tidak bisa bergaul dengan baik. Sehingga mereka menjadi jarang
bergaul dan hanya memiliki sedikit teman, bahkan bisa dijauhi oleh teman –
teman dan masyarakat sekitar mereka. Bahkan bisa merubah orang yang sebelumnya
mudah bersosialisasi atau bergaul menjadi kehilangan bnyak teman.
Pacaran
memang sedang menjadi booming dan
menjadi kebanggaan bagi seseorang yang memiliki pacar. Mereka merasa memiliki
pacar bisa mengangkat derajat dan kharisma mereka di lingkungan pergaulan
mereka. Maka timbullah puisi untuk mengungkapkan kata cinta pada lawan jenis,
misalnya seperti kutipan puisi berikut :
Cintа…
Sеbuаh kаtа,
sеjutа mаknа
Cintа аdаlаh
hаrаpаn
Cintа аdаlаh
kеindаhаn
Cintа аdаlаh
nilаi-nilаi yаng pеnuh citа rаsа
Dеngаn
cintа, kitа bisа mеmаndаng duniа
Dеngаn
cintа, kitа dаpаt mеnciptа hаrаpаn dаn impiаn
Dеngаn
cintа, Kitа mаmpu mеrаih аngаn-аngаn
(dikutip dari www.katakataromantisuntukpacar.blogspot.com)
Andaikan cinta anak muda
seperti puisi di atas. Namun kenyataannya sebaliknya, banyak dari mereka yang
memiliki emosi yang belum stabil. Banyak dari mereka yang mencari pacar sebagai
bentuk pelampiasan karena ketidakkemampuan mereka. Dan juga mereka mencari
pacar juga karena bentuk nafsu mereka yang tidak bisa ditahan. Karena alasan
yang sama mereka juga memutus hubungan dengan pacar mereka. Dikarenakan hal itu
aparat penegak hukum direpotkan dengan
banyaknya kasus yang berkaitan dengan anak muda yang dikarenakan mereka putus
cinta dan masih lain sebagainya. Ada pula kasus, yang mungkin tidak banyak yang
diketahui penegak hukum, bahwa ada pemuda yang memaksa pacarnya untuk menenggak
minuman keras sebagai bukti cinta, ada pula perempuan yang kehilangan
kesuciannya karena pacarnya sendiri. Seperti kutipan novel Dewi Lestari, Petir
(32), “Kakakku di atas tempat tidur, bercelana pendek, behanya di lantai.
Catatan: Watti sudah pakai beha betulan karena ada yang harus ditopang. Andre
ada di sebelahnya, telanjang dada, dengan muka sama kaget. Bahkan, ia tak
sempat mengangkat mulutnya dari dada kakakku.” Yang dirugikan adalah kaum
perempuan, karena mereka melakukan hal tersebut karena dipaksa ataupun
terpaksa. Walaupun ada juga yang melakukannya dengan sengaja dan tidak
terpaksa, namun tetap saja yang merugi adalah kaum perempuan juga. Dikarenakan
hal tersebut pula banyak kasus aborsi atau pengguguran janin yang tidak berdosa
yang dikandung karena ulah yang tidak bertanggung jawab. Aborsi dilakukan
karena tidak kuat menanggung malu dan keluarga tidak mau menanggung aib yang
besar tersebut. Perempuan menjadi terdesak. Sebelum keluarga mengetahui
kehamilan tersebut, maka tidak ada cara lain selain aborsi, walaupun kadang ada
pula laki – laki yang mau bertanggung jawab atas tindakan mereka. Para petugas
pendataan sensus penduduk juga disusahkan maraknya hal tersebut di masyarakat.
Pacaran
juga bisa menyebabkan maraknya pernikahan dini. Pernikahan dini adalah sebuah bentuk ikatan/pernikahan yang salah satu atau kedua pasangan berusia di bawah 18 tahun atau sedang mengikuti pendidikan di sekolah menengah atas. Jadi sebuah pernikahan di sebut pernikahan dini, jika kedua atau salah satu pasangan masuk berusia di bawah 18 tahun (masih berusia remaja) (www.psychologymania.com). Sedangkan, menurut detik.com pernikahan dini yakni pernikahan yang dilakukan saat pasangan nikah belum cukup dewasa mengundang sejumlah risiko, antara lain kematian ibu dan anak saat proses melahirkan. Perempuan muda di Indonesia dengan usia 10-14 tahun menikah sebanyak 0.2 persen
atau lebih dari 22.000 wanita muda berusia 10-14 tahun di Indonesia sudah
menikah. Jumlah dari perempuan muda berusia 15-19 yang menikah lebih besar jika
dibandingkan dengan laki-laki muda berusia 15-19 tahun (11,7 % P : 1,6 % L).
diantara kelompok umur perempuan 20-24 tahun - lebih dari 56,2 persen sudah
menikah (RISKESDAS 2010). Menurut
United Nations Development Economic and
Social Affairs (UNDESA), Indonesia merupakan negara ke-37 dengan jumlah
perkawinan dini terbanyak di dunia. Untuk level ASEAN, Indonesia berada di
urutan kedua terbanyak setelah Kamboja (www.metrotvnews.com). Padahal, dari semua anak muda tersebut, belum siap dalam berbagai hal,
seperti dikatakan Rendra Krisna, Bupati Malang, yang dikutip oleh Jakarta Post,
“Remaja
di bawah usia 20 tahun belum siap menikah karena mereka belum dewasa secara
mental dan ekonomi. Mereka tidak memiliki sarana untuk tinggal, tapi ada
kemungkinan besar bahwa mereka akan menghasilkan lebih dari dua anak.” Para
remaja tersebut masih memerlukan proses pendewasaan serta kemandirian agar bisa
memenuhi kebutuhan pribadi terlebih dahulu dan ketika sudah menikah bisa
bertanggung jawab dan menafkahi keluarganya. Pernikahan dini pada remaja pada dasarnya berdampak pada segi fisik maupun biologis remaja yaitu (Nugraha, 2002) :
- Remaja yang hamil akan lebih mudah menderita anemia selagi hamil dan melahirkan, salah satu penyebab tingginya angka kematian ibu dan bayi, kehilangan kesempatan kesempatan mengecap pendidikan yang lebih tinggi, interaksi dengan lingkungan teman sebaya menjadi berkurang, sempitnya dia mendapatkan kesempatan kerja, yang otomatis lebih mengekalkan kemiskinan (status ekonomi keluarga rendah karena pendidikan yang minim).
- Dampak bagi anak: akan melahirkan bayi lahir dengan berat rendah, sebagai penyebab utama tingginya angka kematian ibu dan bayi, cedera saat lahir, komplikasi persalinan yang berdampak pada tingginya mortalitas.
- Pernikahan dini merupakan salah satu faktor penyebab tindakan kekerasan terhadap istri, yang timbul karena tingkat berpikir yang belum matang bagi pasangan muda tersebut.
- Kesulitan ekonomi dalam rumah tangga
- Pengetahuan yang kurang akan lembaga perkawinan
- Rerelasi yang buruk dengan keluarga.
(dikutip dari www.psychologymania.com)
Di
Indonesia, menurut UU No 1/1974 tentang perkawinan, perempuan di atas usia 16
tahun diperbolehkan untuk menikah. Namun, UU Perlindungan Anak Tahun 2002
menetapkan bahwa siapa pun di bawah usia 18 tahun masih tergolong usia remaja.
Dan remaja juga masih memiliki emosi yang belum stabil. Jika mereka sedang
dalam mood yang kurang baik, maka
mereka jadi gampang marah, kesalahan sedikit saja bisa memicu kemarahan. Karena
kemarahan inilah timbul percekcokan dalam berpacaran yang memicu putus
hubungan. Jika sudah menikah, maka bisa memicu perceraian. Sehingga timbullah
banyak kasus perceraian. Tahun 2011, tercatat 3.717 pasangan telah mengajukan
gugatan cerai, sementara tahun 2012, sebanyak 315 kasus perceraian yang
dilaporkan pada Januari dan 334 kasus pada Februari (Jakarta Post).
Tidak hanya sekedar cerai, banyak dari penikahan
dini yang menimbulkan kekerasan dalam rumah tangga, dikeluarkannya individu
yang terkait alias drop out, program
pemerintah tentang pendidikan tidak merata dan tidak berjalan dengan yang
diinginkan, menurunnya angka kesehatan
masyarakat dan timbul berbagai masalah karena timbul penyakit baru. Serta
banyak dari kepala keluarga yang tidak siap berumah tangga namun tetap memaksakan
diri untuk menikah sehingga mereka menjadi pengganguran dan memiliki keuangan
yang minim. Hal tersebut menjadikan angka pengangguran dan kemiskinan di
Indonesia menjadi meningkat. Karena dari kemiskinan ini, timbulah berbagai
masalah, sehingga seperti rantai yang tak terputuskan, seperti anak jalanan dan
anak terlantar, gelandangan, pemulung, dan masih masih banyak kasus karena
masalah kemiskinan.
Padahal
kalau kita memikirkannya lebih dalam lagi, pacaran itu bukanlah hal yang
penting. Karena, jodoh kita sudah ada yang mengaturnya. Pacaran malah bisa
memperburuk masa lalu kita dan hubungan kita terhadap pasangan kita. Dalam
pacaran tidak ada cinta sejati. Karena, cinta sejati baru diturunkan ke dalam
dua hati oleh Tuhan Yang Maha Esa jika mereka sudah terikat dalam janji suci,
yaitu pernikahan. Yang seharusnya kita pikirkan adalah bagaimana menjalani masa
depan kita dengan sesuatu kesuksesan dan juga membuat bangga serta bahagia
kedua orangtua kita, serta bagaimana cara kita untuk membalas jasa kedua
orangtua kita yang tanpa pamrih. Kita setidaknya harus bisa mempersembahkan
prestasi – prestasi yang membanggakan. Untuk hal itu kita harus belajar dengan
rajin, tekun dan tidak putus asa untuk meraih prestasi dan cita – cita kita.
Bukannya malah memikirkan orang yang baru saja mereka kenal dan belum
mengetahui seluk beluk dan sejarah dibalik keluarga mereka.
Kita harus lebih hati – hati untuk memilih teman dan
sahabat, karena tidak semua manusia itu baik luar maupun dalam. Kita tidak bisa
menilai seseorang hanya dari satu, dua kali pertemuan ataupun dari sosok
luarnya saja. Kita harus bisa mengupas lapis demi lapis dari lapisan yang
menutupi sifat sebenarnya dari seseorang, agar kita tidak mengikuti atau
berteman dengan orang yang salah yang bisa menyesatkan kita ke jalan yang
“tidak lurus”. Karena, akhir – akhir ini banyak perkumpulan atau geng yang bersifat negatif yang
mengumbar masalah dimana – mana. Dan juga karena pergaulan tersebut, timbulah
istilah seperti emo, punk, dan masih
banyak lagi istilah – istilah lainnya. Emo
dan punk tersebut merubah gaya
dan sifat seseorang maupun remaja menjadi seperti bukan diri merka sendiri.
Tidak sedikit yang menganut free sex
dan lain sebagainya yang bisa lebih merugikan kaum perempuan. Hal tersebut
menjadi alasan, mengapa tidak sedikit remaja putri yang sudah tidak “suci”
lagi. Oleh karena itu, kita harus pintar – pintar memilih pergaulan, jika bisa,
hindarilah terlebih dahulu segala hal tentang pacaran, dekatlah diri kita
kepada Tuhan Yang Maha Esa dan yakinlah bahwa kita semua berjodoh. Dan selama
masa penantian jodoh kita itu, kita harus membuat bangga orang tua kita dan
mempersembahkan prestasi – prestasi yang membuat bangga kedua orang tua kita.